JAKARTA, KOMPAS.com - Menanggapi dibentuknya Rancangan Undang-undang Rusun Susun (RUU Rusun) yang akan segera disahkan, Ketua Asosiasi Penghuni Rumah Susun Indonesia (Apersi), Ibnu Tadji, mengatakan bahwa tidak ada substansi yang berubah dalam RUU baru ini. RUU Rusun ini belum memiliki esensi untuk melindungi konsumen.
"Menurut saya, pemerintah dan DPR belum maksimal memanfaatkan waktu untuk membahas RUU Rusun baru ini, karena di dalam draft yang kami dapatkan, tidak memunculkan hal baru sebagai solusi seperti selama ini kami keluhkan," katanya kepada KOMPAS.com, di Jakarta, Jumat (14/10/2011).
Ibnu menjelaskan, beberapa masalah tersebut seperti kepemilikan lahan, PPRS (Perhimpunan Penghuni Rumah Susun), dan Pengelolaan. Untuk kepemilikan lahan, menurut Ibnu, mestinya di dalam RUU disusun mengenai perlindungan pemilik lahan.
"Kemudian, mengenai PPRS, seolah mengakomodir para pengembang dengan membentuk PPRS Sementara. Ini sama saja dengan UU No 16 tahun 1985. Sebaiknya, PPRS sementara tidak diisi oleh pengembang, tapi pemda memfasilitasi pengurusnya," ujarnya.
Ibnu menambahkan, keluhan berikutnya adalah mengenai pengelolaan rusun yang berbadan hukum. Menurutnya, hal ini sulit diterapkan oleh penghuni rusun yang kebanyakan masyarakat biasa.
"Seolah diarahkan ke pengusaha, kalau masyarakat biasa mana mengerti mengurus itu. Upaya melindungi konsumen sepertinya hanya 'gula-gula' dan melanggengkan status quo," katanya.
Kewajiban 136 Pada kesempatan berbeda, Direktur Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menyampaikan dalam pembangunan rumah susun perlu paksaan pemerintah terhadap para pengembang besar.
"Konsep 1:3:6 itu belum dihapus, tapi pengembang tidak ada sangsi jika tak membangun konsep 6 untuk rumah sederhana," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar