Hasil survei Bank Indonesia (BI) terhadap para pengembang properti
perumahan menunjukan faktor kenaikan harga bahan bangunan pemicu dominan
terus terjadinya kenaikan harga rumah.
Harga rumah terus naik setiap triwulan, meski penjualan rumah awal tahun ini sedikit mengalami penurunan.
BI mencatat kenaikan harga rumah secara triwulanan (qtoq), selama periode triwulan I-2012 untuk semua tipe rumah. Kenaikan harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe besar 0,90% (qtoq). Sementara itu untuk periode tahunan (yoy) harga rumah untuk semua tipe naik namun melambat dibandingkan periode sebelumnya. Kenaikan tertinggi terjadi pada tipe kecil sebesar 4,42%.
"Sebagian besar responden (30,67%) mengungkapkan bahwa tekanan kenaikan harga properti residensial terutama berasal dari kenaikan harga bahan bangunan, kenaikan bahan bakar minyak (23,66%) dan serta kenaikan upah pekerja (19,50%)," jelas laporan BI tersebut seperti dikutip Minggu (20/5/2012)
BI mengungkapkan, berdasarkan hasil survei Bahan Bangunan BI pada triwulan I-2012 menunjukan kenaikan sebesar 1,4% (qtoq). Dari survei itu juga menunjukan bahwa banyak faktor yang membuat usaha mereka mengembangkan usaha properti terhambat.
"Sebagian besar responden berpendapat bahwa faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan bisnis properti adalah kenaikan harga bahan bangunan (22,2%), tingginya suku bunga KPR (19,48%), sulitnya perizinan atau birokrasi (15,44%) dan tingginya pajak (14,63%)," jelas laporan itu.
BI juga mencatat suku bunga KPR tertinggi berada di Maluku Utara yang mencapai bunga 13,74%. Sedangkan yang terendah terjadi Yogyakarta 11,84%.
"Dana internal perusahaan tetap menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan properti residensial, sementara konsumen lebih memanfaatkan fasilitas KPR dalam transaksi pembelian rumah," tambah survei itu.
Sebagian besar konsumen atau sekitar 78,33% konsumen memilih kredit kepemilikan rumah untuk membeli rumah. Selain itu sebanyak 13,37% konsumen memilih menggunakan fasilitas pembayaran secara tunai bertahap dan sebagian kecil atau 8,3% konsumen membeli rumah dengan cara tunai keras.
Survei harga properti residensial merupakan survei tiga bulanan yang dilaksanakan sejaka triwulan I-1999. Dilakukan terhadap sampel kalangan pengembang properti di 12 kota yaitu Medan, Palembang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.
Wilayah Jabodetabek mulai disurvei pada triwulan I-2002, dan pada triwulan I-2004 ditambah kota Pontianak sehingga menjadi 14 kota. Total responden yang disurvei mencakup 45 pengembang utama di Jabodetabek dan Banten dan sekitar 215 pengembang di 13 kantor Bank Indonesia.
Istilah rumah kecil dalam survei ini merujuk pada rumah dengan tipe di bawah 36 m2, sedang rumah tipe menengah dalam rentang 36-70 m2 dan rumah tipe besar lebih besar dari 70 m2.
Harga rumah terus naik setiap triwulan, meski penjualan rumah awal tahun ini sedikit mengalami penurunan.
BI mencatat kenaikan harga rumah secara triwulanan (qtoq), selama periode triwulan I-2012 untuk semua tipe rumah. Kenaikan harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe besar 0,90% (qtoq). Sementara itu untuk periode tahunan (yoy) harga rumah untuk semua tipe naik namun melambat dibandingkan periode sebelumnya. Kenaikan tertinggi terjadi pada tipe kecil sebesar 4,42%.
"Sebagian besar responden (30,67%) mengungkapkan bahwa tekanan kenaikan harga properti residensial terutama berasal dari kenaikan harga bahan bangunan, kenaikan bahan bakar minyak (23,66%) dan serta kenaikan upah pekerja (19,50%)," jelas laporan BI tersebut seperti dikutip Minggu (20/5/2012)
BI mengungkapkan, berdasarkan hasil survei Bahan Bangunan BI pada triwulan I-2012 menunjukan kenaikan sebesar 1,4% (qtoq). Dari survei itu juga menunjukan bahwa banyak faktor yang membuat usaha mereka mengembangkan usaha properti terhambat.
"Sebagian besar responden berpendapat bahwa faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan bisnis properti adalah kenaikan harga bahan bangunan (22,2%), tingginya suku bunga KPR (19,48%), sulitnya perizinan atau birokrasi (15,44%) dan tingginya pajak (14,63%)," jelas laporan itu.
BI juga mencatat suku bunga KPR tertinggi berada di Maluku Utara yang mencapai bunga 13,74%. Sedangkan yang terendah terjadi Yogyakarta 11,84%.
"Dana internal perusahaan tetap menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan properti residensial, sementara konsumen lebih memanfaatkan fasilitas KPR dalam transaksi pembelian rumah," tambah survei itu.
Sebagian besar konsumen atau sekitar 78,33% konsumen memilih kredit kepemilikan rumah untuk membeli rumah. Selain itu sebanyak 13,37% konsumen memilih menggunakan fasilitas pembayaran secara tunai bertahap dan sebagian kecil atau 8,3% konsumen membeli rumah dengan cara tunai keras.
Survei harga properti residensial merupakan survei tiga bulanan yang dilaksanakan sejaka triwulan I-1999. Dilakukan terhadap sampel kalangan pengembang properti di 12 kota yaitu Medan, Palembang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Manado, dan Makassar.
Wilayah Jabodetabek mulai disurvei pada triwulan I-2002, dan pada triwulan I-2004 ditambah kota Pontianak sehingga menjadi 14 kota. Total responden yang disurvei mencakup 45 pengembang utama di Jabodetabek dan Banten dan sekitar 215 pengembang di 13 kantor Bank Indonesia.
Istilah rumah kecil dalam survei ini merujuk pada rumah dengan tipe di bawah 36 m2, sedang rumah tipe menengah dalam rentang 36-70 m2 dan rumah tipe besar lebih besar dari 70 m2.
Detik.com