Secara tradisional sudah sejak dulu orang-orang yang memiliki kelebihan uang di Indonesia, menanamkan kelebihan uang itu dalam properti. Hanya waktu itu, selain instrumennya masih terbatas pada rumah dan atau kavling tanah, umumnya mereka membelinya semata untuk menyimpan uang, sekaligus untuk menghindari nilai uang mereka dari gerusan inflasi. Jadi, bukan karena pertimbangan-pertimbangan yang lebih canggih menyangkut prospek investasi, pembiayaan, dan lain sebagainya. Belakangan ini, ketika boom sektor properti sepuluh tahun terakhir terjadi sejak tahun 2000, banyak investor tradisional yang terbawa arus gelombang spekulasi “boom” properti. Mereka beranggapan properti apa pun yang mereka beli, atau di mana pun lokasinya, harganya akan naik setelah masa itu.
Sebaliknya, para investor tradisional umumnya tidak didukung dengan pengetahuan praktis tentang properti dan strategi investasi yang memadai. Walaupun di antara mereka banyak yang sudah lama menjadi investor properti, namun tetap saja mereka merasa belum sukses. Para investor tradisional itu hanya berkutat di sekitar transaksi jual beli. Analisis pasar, kalkulasi kenaikan nilai properti dan analisis investasi, seringkali dihindari, atau kurang diminati. Begitu pula analisis investasi properti yang bersifat jangka panjang, kurang dikedepankan. Sebagian besar mereka mengharapkan apresiasi nilai properti dalam jangka panjang, tapi tidak dibekali dengan pengetahuan tentang properti yang bersifat praktis dan teknik-teknik investasi yang memadai.
Alhasil, kebanyakan investor properti itu, sebelum melakukan investasi properti gagal mengkalkulasi salah satu dari sumber pencetak kekayaan terbesar, yaitu prediksi terhadap apresiasi nilai properti. Mereka pun sering merasa hal itu bukanlah suatu bencana, dengan alasan nilai-nilai properti selalu naik dalam jangka panjang. Mereka lupa satu hal yaitu begitu masa resesi ekonomi tiba, seperti saat sekarang ini, banyak properti yang mereka beli dulu hingga saat sekarang, masih kosong melompong. Apresiasi nilainya pun tidak berarti, atau bahkan nilai properti mereka itu malah ada yang menurun. Karena itu pula sampai sekarang masih terlalu sedikit investor properti yang berhasil menjadi miliarder dari investasi propertinya.
Sebaliknya, para investor tradisional umumnya tidak didukung dengan pengetahuan praktis tentang properti dan strategi investasi yang memadai. Walaupun di antara mereka banyak yang sudah lama menjadi investor properti, namun tetap saja mereka merasa belum sukses. Para investor tradisional itu hanya berkutat di sekitar transaksi jual beli. Analisis pasar, kalkulasi kenaikan nilai properti dan analisis investasi, seringkali dihindari, atau kurang diminati. Begitu pula analisis investasi properti yang bersifat jangka panjang, kurang dikedepankan. Sebagian besar mereka mengharapkan apresiasi nilai properti dalam jangka panjang, tapi tidak dibekali dengan pengetahuan tentang properti yang bersifat praktis dan teknik-teknik investasi yang memadai.
Alhasil, kebanyakan investor properti itu, sebelum melakukan investasi properti gagal mengkalkulasi salah satu dari sumber pencetak kekayaan terbesar, yaitu prediksi terhadap apresiasi nilai properti. Mereka pun sering merasa hal itu bukanlah suatu bencana, dengan alasan nilai-nilai properti selalu naik dalam jangka panjang. Mereka lupa satu hal yaitu begitu masa resesi ekonomi tiba, seperti saat sekarang ini, banyak properti yang mereka beli dulu hingga saat sekarang, masih kosong melompong. Apresiasi nilainya pun tidak berarti, atau bahkan nilai properti mereka itu malah ada yang menurun. Karena itu pula sampai sekarang masih terlalu sedikit investor properti yang berhasil menjadi miliarder dari investasi propertinya.
sumber: http://www.panangianschool.com
0 komentar:
Posting Komentar