Pengamat bisnis properti Ali Tranghanda menyarankan
kepada Bank Indonesia agar menggunakan instrumen pengaturan kredit ke
kalangan pengembang untuk mengatasi potensi terlalu melambungnya harga
aset-aset properti.
"Jangan menetapkan loan to value maksimal 70% karena kebijakan tersebut justru akan menghantam konsumen yang sebenarnya memang terpaksa mengambil kredit pemilikan rumah untuk ditempati (end-user), bukan kena sasaran investor yang membeli properti hanya untuk mengambil gain dari peningkatan harga properti," paparnya kepada Bisnis, Rabu, 21 Maret 2012.
"Jangan menetapkan loan to value maksimal 70% karena kebijakan tersebut justru akan menghantam konsumen yang sebenarnya memang terpaksa mengambil kredit pemilikan rumah untuk ditempati (end-user), bukan kena sasaran investor yang membeli properti hanya untuk mengambil gain dari peningkatan harga properti," paparnya kepada Bisnis, Rabu, 21 Maret 2012.
Dia menyarankan salah satu cara yang dapat diambil oleh BI adalah dengan mengatur mekanisme pengucuran kredit konstruksi supaya kalangan pengembang tidak lagi jor-joran mengembangkan berbagai proyek properti.
Ali Tranghanda setuju dengan anggapan BI bahwa harga terlalu mahal. Dia mengistilahkannya dengan kondisi properti dewasa ini mendekati overheating. Tetapi, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch itu, penetapan maksimal LTV sebesar 70% sama sekali bukan solusi yang tepat untuk mencegah terus melambungnya harga properti.
Secara terpisah Ketua Umum DPP Realestat Indonesia Setyo Maharso berseberangan pendapat dengan Ali Tranghanda. Dia berpandangan harga properti masih dalam batas kewajaran.
Dia menyebutkan di Jakarta hanya wilayah utara dan barat yang harganya melambung jauh melebihi wilayah-wilayah lainnya. Namun, dia juga menilai hal itu wajar saja, mengingat kedua wilayah tersebut merupakan sentra perniagaan dan hal itu pun telah sesuai dengan peruntukannya. (tw)
0 komentar:
Posting Komentar