Munculnya batas minimal rumah dibangunan 36 m2, membunuh hak masyarakat
yang memiliki kemampuan mencicil rendah. Pengembang juga rugi, karena
terlanjur membangun rumah tipe dibawah 36 m2 namun tak terserap KPR
subsidi (FLPP).
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menyebutkan beberapa poin yang meresahkan pasar rumah rakyat dalam UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) terbaru ini, diantaranya:
1. Keterjangkauan daya beli masyarakat untuk rumah tipe 36 m2 sangat terbatas. Banyaknya minat rumah tipe 21 m2 dibanding 36 m2 bukan berarti mereka tidak mau membeli tipe 36 m2. Melainkan daya beli yang terbatas.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menyebutkan beberapa poin yang meresahkan pasar rumah rakyat dalam UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) terbaru ini, diantaranya:
1. Keterjangkauan daya beli masyarakat untuk rumah tipe 36 m2 sangat terbatas. Banyaknya minat rumah tipe 21 m2 dibanding 36 m2 bukan berarti mereka tidak mau membeli tipe 36 m2. Melainkan daya beli yang terbatas.
"Mungkin kita harus berfikir dan mengubah mindset kita seperti mereka yang akan membeli rumah dengan keterbatasan daya beli. Perbedaan Rp 5 juta-Rp 10 juta saja membuat mereka tidak jadi merealisasikan pembeliannya, karena segmen ini berlaku price sensitive. Yakni mereka akan membeli rumah yang terjangkau," paparnya di kantor MK, Jakarta, Kamis (22/3/2012).
2. Yang terjadi di Indonesia, pembatasan tipe 36 m2 belum siap karena harga tanah terlalu tinggi dan ujung-ujungnya nilai rumah menjadi mahal. Tentu akan berbeda saat pemerintah telah menyediakan bank tanah, hingga harga bisa ditekan.
"Karena belum adanya bank tanah, pemerintah harusnya akan terbantu dengan pengembang kelas kecil dengan segmen pasar MBR. Pengembang ini mampu membangun rumah tipe kecil dengan marjin keuntungan minim," katanya.
3. Para pengembang yang selama ini membangun rumah tipe 36 m2, dengan modal terbatas akan sulit mendapatkan pembiayaan dari bank. Pasalnya bank terbentur ketentuan UU yang membatasi bangunan rumah tersebut.
4. Jika hal ini dibiarkan, pemerintah mengalami kemunduran dalam penyediaan rumah rakyat. Meski permintaan besar namun tidak tersedia pasokan yang terjangkau. Pada akhirnya backlog (kekurangan rumah) perumahan menjadi lebih besar.
"UU PKP Pasal 22 adalah kebijakan yang tidak berpihak dengan rakyat dan secara objektif, karena tidak sesuai dengan kondisi keterjangkauan masyarakat MBR," katanya.
(wep/hen)
0 komentar:
Posting Komentar