Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Depok yang sudah disahkan DPRD Kota Depok digugat
pengembang. Pasalnya, regulasi ini mengatur operasional pengembang untuk
hanya membangun, menjual, dan memasarkan perumahan dengan luas tanah
minimal 120 meter persegi.
Kendati Perda ini belum efektif diberlakukan, pengembang sepenuhnya tidak dapat memahami aturan tersebut. Bahkan, mereka mengusulkan untuk direvisi menjadi 80 sampai 100 meter persegi.
Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, sebagai representasi pengembang kelas bawah di area Jadebotabek, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Perda tersebut. Menurut dia, Perda tersebut tidak menarik dan tidak bersifat populisme, karena dapat merugikan pengembang dan juga calon konsumen berpenghasilan rendah.
Ari memaparkan, potensi kerugian bagi pengembang akibat Perda itu adalah anjloknya penjualan rumah sebesar 20 sampai 30 persen. Sementara bagi konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), jelas tidak dapat mengakses rumah karena harganya tinggi.
"Kami perkirakan kerugian yang diderita pengembang ada dua hal. Pertama akan berakibat pada anjloknya penjualan sebesar 20 sampai 30 persen. Konsumen pasti berpikir ulang untuk membeli hunian kelas bawah dengan harga kelas menengah. Kerugian kedua adalah pada investasi yang telah ditanam (dibayarkan). Pengembang harus merevisi ulang semuanya terkait dengan aturan tersebut, terutama site plan," jelas Ari kepada Kompas.com, Jumat (11/10/2013).
Dengan aturan seperti itu, lanjut Ari, untuk tanahnya saja bisa menjadi Rp 120 juta. Pihaknya harus berpikir keras menjual rumah dengan harga yang pas. Paling tidak mereka harus menjual dengan ongkos konstruksi di atas Rp 4 juta per meter persegi. Ini artinya harga dasar hunian dengan luas bangunan 36 meter persegi menjadi Rp 264 juta. Belum termasuk PPN, dan biaya lainnya. Paling banter keluar angka Rp 400 juta-Rp 500 juta.
"Harusnya Depok berpikir bagaimana membangun infrastruktur untuk kepentingan publik dengan kualitas yang memadai. Yang diperlukan warga Depok adalah kawasan bersama yang dimanfaatkan bersama dengan mudah dan murah atau semacam fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pemkot Depok jangan mengatur masalah teknis seperti ini. Lebih baik rumah kecil namun infrastruktur dan fasilitas publik memadai," imbuh Ari.
Pemkot Depok sendiri beralasan bahwa Perda tersebut dibuat untuk menciptakan tata ruang kota yang lebih baik demi membangun Depok lebih hijau dengan kondisi lingkungan (ruang terbuka hijau) yang terselamatkan.
"Motivasi kami adalah supaya Depok memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Lebih dari itu, kami ingin menyelamatkan lingkungan," ujar Wali Kota Depok, Nurmahmudi Ismail kepada Kompas.com di ruang kerjanya Kamis (10/10/2013).
Kendati Perda ini belum efektif diberlakukan, pengembang sepenuhnya tidak dapat memahami aturan tersebut. Bahkan, mereka mengusulkan untuk direvisi menjadi 80 sampai 100 meter persegi.
Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, sebagai representasi pengembang kelas bawah di area Jadebotabek, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Perda tersebut. Menurut dia, Perda tersebut tidak menarik dan tidak bersifat populisme, karena dapat merugikan pengembang dan juga calon konsumen berpenghasilan rendah.
Ari memaparkan, potensi kerugian bagi pengembang akibat Perda itu adalah anjloknya penjualan rumah sebesar 20 sampai 30 persen. Sementara bagi konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), jelas tidak dapat mengakses rumah karena harganya tinggi.
"Kami perkirakan kerugian yang diderita pengembang ada dua hal. Pertama akan berakibat pada anjloknya penjualan sebesar 20 sampai 30 persen. Konsumen pasti berpikir ulang untuk membeli hunian kelas bawah dengan harga kelas menengah. Kerugian kedua adalah pada investasi yang telah ditanam (dibayarkan). Pengembang harus merevisi ulang semuanya terkait dengan aturan tersebut, terutama site plan," jelas Ari kepada Kompas.com, Jumat (11/10/2013).
Dengan aturan seperti itu, lanjut Ari, untuk tanahnya saja bisa menjadi Rp 120 juta. Pihaknya harus berpikir keras menjual rumah dengan harga yang pas. Paling tidak mereka harus menjual dengan ongkos konstruksi di atas Rp 4 juta per meter persegi. Ini artinya harga dasar hunian dengan luas bangunan 36 meter persegi menjadi Rp 264 juta. Belum termasuk PPN, dan biaya lainnya. Paling banter keluar angka Rp 400 juta-Rp 500 juta.
"Harusnya Depok berpikir bagaimana membangun infrastruktur untuk kepentingan publik dengan kualitas yang memadai. Yang diperlukan warga Depok adalah kawasan bersama yang dimanfaatkan bersama dengan mudah dan murah atau semacam fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pemkot Depok jangan mengatur masalah teknis seperti ini. Lebih baik rumah kecil namun infrastruktur dan fasilitas publik memadai," imbuh Ari.
Pemkot Depok sendiri beralasan bahwa Perda tersebut dibuat untuk menciptakan tata ruang kota yang lebih baik demi membangun Depok lebih hijau dengan kondisi lingkungan (ruang terbuka hijau) yang terselamatkan.
"Motivasi kami adalah supaya Depok memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Lebih dari itu, kami ingin menyelamatkan lingkungan," ujar Wali Kota Depok, Nurmahmudi Ismail kepada Kompas.com di ruang kerjanya Kamis (10/10/2013).
Sumber: Kompas.com
1 komentar:
Kasian juga kalau begitu yah...main juga gan ke http://www.seoproperti.com
Posting Komentar