Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Oleh :
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 5 TAHUN 1960 (5/1960)
Tanggal : 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA)
Sumber : LN 1960/104; TLN NO. 2043
Presiden Republik
Indonesia,
Menimbang :
a.
bahwa didalam Negara
Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b.
bahwa hukum agraria yang
masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan
dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat
dan Negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta
embangunan semesta;
c.
bahwa hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum
agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d.
bahwa bagi rakyat asli
hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum;
Berpendapat :
a.
bahwa berhubung dengan apa
yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria
nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
b.
bahwa hukum agraria
nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya,fungsi bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai yang dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan
rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria;
c.
bahwa hukum agraria
nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas
kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam
Pembukaan Undang-undang Dasar.
d.
bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan
maupun secara gotong-royong;
e.
bahwa berhubung dengan
segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun ketentuan-ketentuan
pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional tersebut diatas;
Memperhatikan :
Usul Dewan Pertimbangan Agung
Sementara Republik Indonesia No. I/Kpts/Sd/II/60 tentang perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;
Mengingat :
a. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
b. Pasal 33 Undang-undang Dasar;
c. Penetapan Presiden No.
I tahun 1960 (Lembaran-Negara 1960 No.
10) tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1959 sebagai Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden
tanggal 17 Agustus 1960;
d. Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
Memutuskan:
Dengan mencabut:
1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai
yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands
Indie" (Staatsblad 1925 No. 447)
dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2. a.
"Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch
Besluit " (Staatsblad 1870 No.
118);
b. "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad
1875 No. 119A;
c. "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal
1 dari Staatsblad 1874 No. 94f;
d. "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut
dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
e. "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling
van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872
No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
Undang-undang ini;
Menetapkan :
Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN
POKOK.
Pasal 1.
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun
laut wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan
air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Pasal 2.
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara
termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a.
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
b.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa,
c.
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3.
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Pasal 4.
(1)
Atas dasar hak menguasai
dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan-badan hukum.
(2)
Hak-hak atas tanah yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3)
Selain hak-hak atas tanah
sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air
dan ruang angkasa.
Pasal 5.
Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 6.
Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7.
Untuk tidak merugikan kepentingan
umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan.
Pasal 8.
Atas dasar hak menguasai dari
Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam
yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9.
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan
pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.
Pasal 10.
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan dari pada
ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
(3) Pengecualian terhadap
azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Pasal 11.
(1)
Hubungan hukum antara
orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2)
Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
Pasal 12.
(1)
Segala usaha bersama.dalam
lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan
nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
(2)
Negara dapat bersama-sama
dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
Pasal 13.
(1)
Pemerintah berusaha
agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran
rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap
warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2)
Pemerintah mencegah adanya
usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan
yang bersifat monopoli swasta.
(3)
Usaha-usaha Pemerintah
dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan
dengan Undang-undang.
(4)
Pemerintah berusaha untuk
memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam
usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1)
dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya:
a.
untuk keperluan Negara,
b.
untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa;
c.
untuk keperluan pusat-pusat
kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.
untuk keperluan
memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
e.
untuk keperluan
memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan
mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya,
sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari
Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan
Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk
menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah
itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG
ANGKASA SERTA
PENDAFTARAN TANAH.
Bagian 1.
Ketentuan-ketentuan umum.
Pasal 16.
(1)
Hak-hak atas tanah sebagai
yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:.
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h.
hak-hak lain yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut diatas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2)
Hak-hak atas air dan ruang
angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal
4 ayat (3) ialah:
a.
hak guna air,
b.
hak pemeliharaan dan
penangkapan ikan,
c.
hak guna ruang angkasa.
Pasal 17.
(1)
Dengan mengingat ketentuan
dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai
dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal
16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2)
Penetapan batas maksimum
termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan
didalam waktu yang singkat.
(3)
Tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh
Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4)
Tercapainya batas minimum
termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan
perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 18.
Untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-undang.
Bagian II
Pendaftaran tanah.
Pasal 19.
(1)
Untuk menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Pendaftaran tersebut dalam
ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3)
Pendaftaran tanah diselenggarakan
dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
(4)
Dalam Peraturan Pemerintah
diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat
(1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Bagian III
Hak milik,
Pasal 20.
(1) Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21.
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib
melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum
dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya
mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22.
(1)
Terjadinya hak milik
menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Selain menurut cara sebagai
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena :
a.
penetapan Pemerintah,
menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang.
Pasal 23.
(1)
Hak milik, demikian pula
setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2)
Pendaftaran termaksud dalam
ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta
sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24.
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan
peraturan perundangan.
Pasal 25.
Hak milik dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 26.
(1)
Jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah .
(2)
Setiap jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu
badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21
ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
Bagian IV.
Hak guna-usaha.
Pasal 28.
(1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2) Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit
5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai
dengan perkembangan zaman.
(3) Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29.
(1)
Hak guna-usaha diberikan
untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2)
Untuk perusahaan yang
memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu
paling lama 35 tahun.
(3)
Atas permintaan pemegang
hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat
(1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25
tahun.
Pasal 30.
(1)
Yang dapat mempunyai hak
guna-usaha ialah.
a.
warga-negara Indonesia;
b.
badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia,
(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak
lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang
memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak
guna-usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
Pasal 32.
(1)
Hak guna-usaha, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal
19.
(2)
Pendaftaran termaksud dalam
ayat (1) merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak
itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 33.
Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f.
tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Bagian V.
Hak guna-bangunan.
Pasal 35.
(1)
Hak guna-bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2)
Atas permintaan pemegang
hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka
waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20
tahun.
(3)
Hak guna-bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 36.
(1)
Yang dapat mempunyai hak
guna-bangunan ialah
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
(2)
Orang atau badan hukum yang
mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut
dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Jika hak guna-bangunan yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus
karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37.
Hak guna-bangunan terjadi:
a.
mengenai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah;
b.
mengenai tanah milik;
karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan
dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38.
(1) (1) Hak guna-bangunan,
termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 39.
Hak guna-bangunan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a.
jangka waktunya berakhir;
b.
dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.
dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.
dicabut untuk kepentingan
umum;
e.
diterlantarkan;
f.
tanahnya musnah;
g.
ketentuan dalam pasal 36
ayat (2).
Bagian VI.
Hak pakai,
Pasal 41.
(1)
Hak pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2)
Hak pakai dapat diberikan:
a.
selama jangka waktu yang
tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b.
dengan cuma-cuma, dengan
pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
(3)
Pemberian hak pakai tidak
boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42.
Yang dapat mempunyai
hak pakai ialah
a. warga-negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43.
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka
hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang
berwenang.
(2) Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Bagian VII.
Hak sewa untuk bangunan.
Pasal 44.
(1)
Seseorang atau suatu badan
hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan
tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa.
(2)
Pembayaran uang sewa dapat
dilakukan
a.
satu kali atau pada
tiap-tiap waktu tertentu;
b.
sebelum atau sesudah
tanahnya dipergunakan.
(3)
Perjanjian sewa tanah yang
dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
Pasal 45.
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
a.
warga-negara Indonesia;
b.
orang asing yang
berkedudukan di Indonesia;
c.
badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.
badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
Bagian VIII.
Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan.
Pasal 46.
(1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat ipunyai
oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak
dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Bagian IX.
Hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan.
Pasal 47.
(1)
Hak guna air ialah hak
memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas
tanah orang lain.
(2)
Hak guna-air serta
pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian X.
Hak guna ruang angkasa.
Pasal 48.
(1)
Hak guna ruang angkasa
memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa
guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan
dengan itu.
(2)
Hak guna ruang angkasa
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci
dan sosial.
Pasal 49.
(1)
Hak milik tanah badan-badan
keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan
dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh
tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(2)
Untuk keperluan peribadatan
dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
(3)
Perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain.
Pasal 50.
(1)
Ketentuan-ketentuan lebih
lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.
(2)
Ketentuan-ketentuan lebih
lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk
bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 51 .
Hak tanggungan yang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam
pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.
BAB III
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 52.
(1)
Barangsiapa dengan sengaja
melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
(2)
Peraturan Pemerintah dan
peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46,
47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas
pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
10.000,-.
(3)
Tindak pidana dalam ayat
(1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 53.
(1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang
dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya
didalam waktu yang singkat.
(2) Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap
peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 54.
Berhubung dengan
ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping
kewarganegaraan Indonenesianya mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat
Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok
itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap
hanya berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).
Pasal 55.
(1)
Hak-hak asing yang menurut
ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak
guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut,
dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2)
Hak guna-usaha dan hak
guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan
hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu
diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta
berencana.
Pasal 56.
Selama Undang-undang mengenai hak
milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 57.
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan
tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542
sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Pasal 58.
Selama peraturan-peraturan
pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran
yang sesuai dengan itu.
KEDUA.
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI.
Pasal I.
(1)
Hak eigendom atas tanah
yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi
hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang
tersebut dalam pasal 21.
(2)
Hak eigendom kepunyaan
Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman
Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
(3)
Hak eigendom kepunyaan
orang asing, seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya
mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk
oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1),
dengan jangka waktu 20 tahun.
(4)
Jika hak eigendom tersebut
dalam ayat (1) pasal ini dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal
dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna
bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang
bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas,
tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5)
Jika hak eigendom tersebut
dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpahct, maka
hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak-hak
opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6)
Hak-hak hypotheek,
servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap
membebani hak milik dan hak guna-bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal
ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.
Pasal II.
(1)
Hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20
ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai
berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan,
landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi
hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya
tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2)
Hak-hak tersebut dalam ayat
(1) kepunyaan orang asing, warga-negara yang disamping kewarga-negaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan hukum yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi
hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya,
sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III.
(1)
Hak erfpacht untuk
perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak
saat tersebut menjadi hak guna-usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan
berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20
tahun.
(2)
Hak erfpacht untuk
pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat
tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang
diadakan oleh Menteri Agraria.
Pasal IV.
(1)
Pemegang concessie dan sewa
untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria
agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.
(2)
Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang
bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya. tetapi paling lama lima
tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3)
Jika pemegang concessie
atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak
bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun
permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu
berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan
sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk
perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat
tersebut menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang
berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
Pasal VI.
Hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat
(1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant
controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas,
dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan itegaskan lebih lanjut oleh
Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai
tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal VII.
(1)
Hak gogolan, pekulen atau
sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
(2)
Hak gogolan, pekulen atau
sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat
(1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang
haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3)
Jika ada keragu-raguan
apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak
tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Pasal VIII.
(1)
Terhadap hak guna-bangunan
tersebut pada pasal I ayat (3)dan (4), pasal II ayat (2) dan V berlaku
ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
(2)
Terhadap hak guna-usaha
tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2) pasal IV ayat (1)
berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal IX.
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
diatas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
KETIGA.
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan
perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
KEEMPAT.
A.
Hak-hak dan
wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada. waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
B.
Hal-hal yang bersangkutan
dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
KELIMA.
Undang-undang ini dapat disebut
Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan
dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 September 1960.
Presiden Republik Indonesia,
SUKARNO.
Diundangkan
pada tanggal 24 September 1960.
Sekretaris Negara,
TAMZIL.
MEMORI PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG POKOK
AGRARIA.
A. PENJELASAN UMUM.
I. Tujuan
Undang-undang Pokok Agraria.
Didalam Negara Republik
Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama
masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria
yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata
bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada
tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama :
a.
karena hukum agraria yang
berlaku sekarang ini sebagian ter- susun berdasarkan tujuan dan sendir-sendi
dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan
pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b.
karena sebagai akibat dari
politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat
dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat di-
samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana
selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba sulit, juga
tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; c. karena bagi rakyat asli hukum agraria
penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum
agraria baru yang nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang
ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang
di- maksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara
serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.
Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas
kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya
harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang
Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan
didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Berhubung dengan segala sesuatu
itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya
perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi
penyusunan peraturan-peraturan lainnya.
Sungguhpun undang-undang itu
formil tiada bedanya dengan undang-undang lainnya - yaitu suatu peraturan yang
dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat - tetapi
mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru,
maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas- azas serta soal-soal dalam garis
besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun
pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan
Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya
tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah :
a.
meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.
meletakan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c.
meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
II. Dasar-dasar dari hukum agraria nasional.
(1) Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1
ayat 1 , yang menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah In- donesia adalah
kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa : "Seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi,
air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".
Ini berarti bahwa bumi, air dan
ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diperjuangkan oleh bangsa- sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa
Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.
Demikian pula tanah-tanah didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan
pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada
tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah
Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan
bumi, air serta ruang ang kasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat
abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat me- mutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Dengan demikian maka biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan
bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan
penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap
merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air
serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas
(sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa
hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan
milik.
Dalam rangka hak ulayat dikenal
adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum
agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi
Indonesia (pasal 4 yo pasal 20). Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja,
yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.
Selain hak milik sebagai hak
turun-temurun, terkuat dan ter- penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
diadakan pula hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan
hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (pasal 4 yo 16).
Bagaimana kedudukan hak-hak
tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan diuraikan
dalam nomor 2 dibawah.
(2) "Azas domein.. yang dipergunakan sebagai dasar dari- pada
perundang-undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal
dalam hukum agraria yang baru.
Azas domein adalah bertentangan
dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada Negara yang merdeka
dan modern. Berhubung dengan ini maka
azas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein",
yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a,
S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu
dicabut kembali.
Undang-Undang Pokok Agraria
berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal
33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya,
bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah
lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
(bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti
ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang
tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut
diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti
"dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang
kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk
pada ting- katan yang tertinggi :
a.
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b.
menentukan dan mengatur
hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c.
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan :
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3).
Adapun, kekuasaan Negara yang
dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang
sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah
yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu,
artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk
menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut.
Adapun isi hak-hak itu serta
pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya
serta pasal-pasal dalam BAB II.
Kekuasaan Negara atas tanah yang
tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah
lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas
Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya
hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau
Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing
(pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun
sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal
mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di- bawah ini.
(3)
Bertalian dengan hubungan
antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut
dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat
dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu
pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu
menentukan, bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Ketentuan ini pertama-tama
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru.
Sebagaimana dike- tahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan
berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah
hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa
didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman
penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat
didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula
pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan,
sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat
hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah
(umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan
didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia
berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat
dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak
tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian
pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak
ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran
dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka
pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.
Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri
seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut
diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan
nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus
sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika
didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih
memperta-hankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan
ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan
daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang
demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan
dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk
mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas
dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang
bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
(4) Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa
"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial".
Ini berarti, bahwa hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan
tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan
kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan
tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat
seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Berhubung dengan fungsi
sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus
dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.
Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap
orang, badan-hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan fihak yang ekonomis lemah.
(5)
Sesuai dengan azas
kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya
warganegara Indo-nesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak
milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada
orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah
dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan
hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan
untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas
tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup
hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak
pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah
usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas
maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17). Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum
tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma-
syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan
hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang
memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya
"escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak
milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah,
dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang
bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai
badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang
tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam
hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap
sebagai badan hukum biasa.
(6) Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut
diatas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2, bahwa : "Tiap-tiap warganegara
Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".
Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan
bagi golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat
kedudukan ekonominya. Maka didalam pasal 26 ayat 1 ditentukan, bahwa :
"Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah yang
akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang
dimaksudkan itu.
Dalam hubungan itu dapat ditunjuk
pula pada ketentuan- ketentuan yang dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang
bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang
lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana
bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha
bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepen-tingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban
untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan
agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2).
Bukan saja usaha swasta, tetapi
juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai
merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (pasal 13 ayat 3).
(7) Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada
dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur
pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang
menyelenggarakan apa yang disebut "landreform" atau "agrarian
reform" yaitu, bahwa "Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri".
Agar supaya semboyan ini dapat
diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada
ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani,
supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri
dan keluarganya (pasal 13 yo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas
maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar
dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam
hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang
demikian itu adalah merugikan kepentingan umum.
Akhirnya ketentuan itu perlu
dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya
dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa
bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada
orang lain.
Dalam pada itu mengingat akan
susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu
yang akan da- tang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah
pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa,
berbagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu
peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang
bersifat penindasan silemah oleh si-kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya
pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya
itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan
sendiri atas dasar "freefight", akan tetapi pe- nguasa akan memberi
ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi
pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de
l-'homme par l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan
ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang
"Perjanjian Bagi Hasil" (L.N. 1960 - 2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah
suatu azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat
2). Dalam keadaan susunan msyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan
pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya
dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya
mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin
dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki
tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk
diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi
setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya
sendiri secara aktip. (ayat 3).
(8)
Akhirnya untuk mencapai apa
yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria,
perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai
kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National
planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian
diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari
tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah
dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
III. Dasar-Dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan hukum.
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut
nampak jelas di-dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
(1)
Sebagaimana telah
diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat
"dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut
hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada
ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara
sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria
baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh
karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum
agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan
dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana
dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat
swapraja yang feodal.
(2)
Didalam menyelenggarakan
kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap
masih adanya perbedaan dalam keadaan
masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan
itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa : "Perbedaan dalam keadaan
masyarakat dan keprluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan". Yang dimaksud
dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan
hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan
rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya,
bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
(3)
Dengan hapusnya perbedaan
antara hukum-adat dan hukum-barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk
mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula. Sebagai yang telah diterangkan diatas,
selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal
hak-hak atas tanah, menurut hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat
1 huruf d sampai dengan g. Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam
masyarakat kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna
mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat 1 huruf b
dan c).
Adapun hak-hak yang ada pada
mulai berlakunya Undang-Undang ini semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu
hak yang baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.
IV. Dasar-dasar
untuk mengadakan kepastian hukum.
Usaha yang menuju kearah kepastian
hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur
pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang
bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya
itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi,
agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
"rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan
dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam
bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya
dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh
wilayah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu
akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para
pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian
tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai
suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah
yang bersifat "rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan
diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya
dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat
pada kadaster yang meliputi seluruh wilahah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu
akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para
pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya
pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya
itu, tidak akan ada artinya sama sekali.
B. PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan
Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara
pengertian ..bumi" dan "tanah", sebagai yang dirumuskan dalam
pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan "tanah" ialah
permukaan bumi. Perluasan pengertian
"bumi" dan "air" dengan ruang angkasa adalah bersangkutan
dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam
waktu-waktu yang akan datang.
Pasal 2.
Sudah diuraikan dalam Penjelasan
Umum (II angka 2).
Ketentuan dalam ayat 4 adalah
bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas
Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah
itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut
keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi
daerah itu.
Pasal 3.
Yang dimaksud dengan "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang didalam perpustakaan
hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Selanjutnya lihat Penjelasan
Umum (II angka 3).
Pasal 4.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II
angka 1).
Pasal 5.
Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar
dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Pasal 6.
Tidak hanya hak milik tetapi
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan
Umum (II angka 4).
Pasal 7.
Azas yang menegaskan dilarangnya "groot-grondbezit" sebagai
yang telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu diatur
lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 8.
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu
hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang
bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung
didalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan
kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini
merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.
Pasal 9.
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada
ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2.
Pasal 10.
Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata- kata "pada
azasnya" menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian
sebagai yang disebutkan sebagai misal didalam Penjelasan Umum itu. Tetapi
pengecualian-pengecualian itu perlu diatur didalam peraturan perundangan
(Bandingkan penjelasan pasal Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih
dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.
Pasal 11.
Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis
lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warganegara
asli keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III
angka 2).
Pasal 12.
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan- ketentuan dalam pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha
bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk koperasi dan bentuk-
bentuk gotong-royong lainnya. Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan
diadakannya suatu "usaha bersama" antara Negara dan Swasta dalam
bidang agraria.
Yang dimaksud dengan "fihak
lain" itu ialah pemerintah daerah, pengusaha swasta yang bermodal nasional
atau swasta dengan "domestic capital" yang progresip.
Pasal 13.
Ayat 1, 2 dan 3.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan
Umum (II angka 6).
Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial
yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14.
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan
umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari
dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka
disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk
industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja
bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri
dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan
peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum ((II angka 4). Tanah wajib dipelihara
dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan didaerah
yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-Jawatan yang
bersangkutan.
Pasal 16.
Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai
dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional
didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam
pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak
guna- usaha dan hak-guna-bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat
modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak
erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak
opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan
dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat
sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur
(ayat 1 huruf h yo pasal 53).
Pasal 17.
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam
pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang
singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari
batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah
dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan
kepada rakyat yang membutuhkannya.
Ganti kerugian kepada bekas
pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh
bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk
membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan
disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak terlalu
lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu.
Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang
mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya.
Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah
pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu
akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran
diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai
secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami,
isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang
jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi
kepala keluarga.
Pasal 18.
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah.
Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus
disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pasal 19.
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana
dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat
Penjelasan Umum IV).
Pasal 20.
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya
dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang "terkuat dan
terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak
berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat
diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu.
Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu
bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usha, hak guna-bangunan, hak
pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas
tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter" (artinya :
paling)-kuat dan terpenuh.
Pasal 21.
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh
hak milik karena lain-lain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara-
cara yang diserbut dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa
melakukan suatu tindakan positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya
peralihan hak itu.
Sudah selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara membiarkan diri disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Negara lain, dalam hal
pemilikan tanah ia dibedakan dri warganegara Indonesia lainnya.
Pasal 22.
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan
tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan
kepentingan umum dan Negara.
Pasal 23.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 24.
Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentuk-bentuk
hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa,
bagi-hasil, pakai atau hak guna-bangunan.
Pasal 25.
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya.
Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan
tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Didalam hal ini maka
tanahnya beralih pada pemegang gadai.
Pasal 26.
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka
6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah. Dalam
Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara
asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah. Fihak yang
kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut
dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa
yang tidak dapat memiliki tanah.
Pasal 27.
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan daripada haknya.
Pasal 28.
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan
miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Bedanya
dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk
keperluan diatas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.
Berlainan dengan hak pakai maka hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada fihak lain dan dapat dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun
tidak dapat diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum
yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal
55. Untuk mendorong supaya pemakaian dan
pengusahaan tanahnya dilakukan secara yang tidak baik, karena didalam hal yang
demikian hak guna-usahanya dapat dicabut (pasal 34).
Pasal 29.
Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah hak yang waktu berlakunya
terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang dengan
25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan tanaman-tanaman
yang berumur panjang.
Penetapan jangka-waktu 35 tahun
misalnya mengingat pada tanaman kelapasawit.
Pasal 30.
Hak
guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat
mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang
progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal
asing hak guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu
diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta
berencana (pasal 55).
Pasal 31 s/d 34.
Tidak memerlukan penjelasan.
Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 35.
Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak mengenai
tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.
Pasal 36.
Penjelasannya sama dengan pasal 30.
Pasal 37 s/d 40.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38
sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 41 dan 42.
Hak pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari pada hak-hak
yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan
sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya
memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini.
Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan
Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu
nama
saja.
Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula
hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk
itu. Orang-orang dan badan- badan hukum asing dapat diberi hak-pakai, karena
hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.
Pasal 43.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 44 dan 45.
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat
khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan
berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya
mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53).
Negara tidak dapat menyewakan
tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
Pasal 46.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam
hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan
Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang
atau masyarakat hukum yang bersangkutan.
Pasal 47.
Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai
air yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang
berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi
daripada hak milik atas tanah.
Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata
air yang berada diluar tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk
dalam isi daripada hak milik atas tanah.
Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata
air yang berada diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya,
rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang
diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air
yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah
orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi
pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya
masing-masing.
Pasal 48.
Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik dewasa ini dan
kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.
Pasal 49.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi
ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan
keperluan-keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru akan mendapat
perhatian sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan dalam pasal 5
dan pasal 14 ayat 1 hurub b.
Pasal 50 dan 51.
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini hanya dimuat pokok-pokoknya
saja dari hukum agraria yang baru.
Pasal 52.
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-peraturan
serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok
Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana sebagai yang ditentukan dalam
pasal ini.
Pasal 53.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.
Pasal 54.
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26.
Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C. tetapi pada
tanggal mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan
terkena oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII.
Tetapi setelah pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka
kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang
berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Hal itu
berlaku juga bagi orang-orang
yang disebutkan didalam pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu
sebelumnya diperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang.
Pasal 55.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30.
Ayat 1
mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal
asing baru. Sebagaimana telah di- tegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian
hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan oleh
undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana.
Kedua : Hak-hak yang ada sekarang ini menurut
ketentuan konversi ini semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-undang
Pokok Agraria. Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan yang disebut dalam pasal I,
II, III, IV dan V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan
yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan
dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akta haknya yang di-
konversi itu, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru.
Ketiga : Perubahan susunan
pemerintahan desa perlu diadakan untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya
dari- pada perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini. Pemerintah desa
akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang sangat penting.
Keempat : Ketentuan ini bermaksud
menghapuskan hak- hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini.
__________________________________
0 komentar:
Posting Komentar