Pengembang di Papua mengaku paling berat menjalankan skema baru
kredit pemilikan rumah dengan Fasilitas Likuditas Pembiayaan Perumahan
(FLPP). Pasalnya, masalah perumahan di Papua sangat beragam, mulai harga
material bangunan mahal sampai ketersediaan tanah.
Selain material bangunan di Papua itu terkendala
masalah tanah. Jangan dikira tanah di Papua itu murah. Di pusat kota
harganya mencapai Rp 1 juta per meter persegi.
"Kalau harga rumah tipe 36 meter persegi
itu Rp 70 juta, kami jelas tidak bisa membangun. Di Jayapura, harga
semen per sak itu Rp 80.000 - Rp 90.000. Itu baru harga semen, belum
harga material bangunan lainnya," ungkap Ketua DPD Realestat Indonesia
(REI) Papua dan Papua Barat, Poerbaraya, kepada wartawan saat peringatan
HUT REI ke-40 di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (31/3/2012).
Menurut
dia, kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Papua
perlahan dapat terpenuhi. Namun, pemerintah diminta tidak menyamaratakan
kondisi perekonomian tiap daerah.
"Selain material bangunan di
Papua itu terkendala masalah tanah. Jangan dikira tanah di Papua itu
murah. Di pusat kota harganya mencapai Rp 1 juta per meter persegi,"
ujarnya.
"Kalau di pedalaman memang ada harga tanah lebih murah,
sekitar Rp 100.000 - Rp 200.000, namun kendalanya listrik dari PLN belum
masuk," imbuh Poerbaraya.
Masyarakat Papua juga tak mau bila
pengembang menyiasati membangun rumah berbahan material kayu. Poerbaraya
mengatakan, masyarakat di sana umumnya menginginkan rumah berdinding
bata.
"Banyak dari mereka sudah tidak mau lagi tinggal di rumah
honai. Jangankan honai, rumah dari kayu saja tidak mau. Bank juga tidak
mau memberikan KPR kalau yang dibiayai itu rumah papan, karena papan itu
berkesan kumuh," kata Poerba.
Pada kesempatan sama, M Haidir
Munthe, ketua DPD REI Kalimantan Tengah mengungkapkan, permasalahan
perumahan di wilayahnya tak kalah pelik. Ia menuturkan, sertifikat untuk
perumahan terkendala Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) sehingga tidak
dapat diterbitkan sejak 2008. Sementara hutan sudah dibabat untuk
dijadikan perkebunan, sertifikat untuk rumah tipe 20 - 30 tidak bisa
terbit.
"Dari target rumah dengan FLPP sebanyak 1.500 unit se-Kalimantan Tengah baru terealisasi 4 unit," jelasnya.
Tak
berhenti di situ. Haidir juga mengaku prihatin, karena sebagai pusat
wilayah yang kaya sumber daya alam batu bara, Kalimantan Tengah justeru
terkendala listrik yang tidak bisa dinikmati masyarakatnya.
"Di
wilayah dengan lumbung energi ini ternyata miskin energi listrik untuk
rakyat. Masih ada tiang dan trafo sejak tahun 2010 berdiri, tapi belum
menyala listriknya," katanya.
Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar