Jakarta, 18 Januari 2012
http://www.ppatk.go.id/berita.php?nid=6516
Rezim
anti pencucian uang di mana pun di dunia mensyaratkan adanya mekanisme
pelaporan untuk mendeteksi uang hasil kejahatan. Besarnya risiko
penggunaan sistem keuangan untuk "mencuci" uang hasil kejahatan
menjadikan pelaku industri jasa keuangan, seperti bank, perusahaan
asuransi, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, dan penyedia jasa
keuangan lainnya, sebagai pihak yang telah lama diberi kewajiban untuk
mengidentifikasi dan melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan atau
tidak wajar. Di Indonesia, kewajiban pelaporan tersebut bagi setiap
penyedia jasa keuangan telah berlaku sejak tahun 2002 dengan
dikeluarkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
yang kemudian diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003.
Di
negara-negara seperti Perancis, Romania, Kanada, Belgia, Belanda,
Spanyol, Italia, dan Australia, pihak pelapor yang wajib menyampaikan
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) telah diperluas hingga
mencakup profesi (profession) dan penyedia barang/jasa (designated non-financial business). Hal ini disebabkan oleh semakin beranekanya modus operandi pencucian uang, dan sejalan dengan revised 40+9 FATF Recomendations yang juga mewajibakan non financial business dan profession seperti lawyer, notaris, akuntan publik, pedagang permata dan agen real estate untuk menjadi pihak pelapor transaksi keuangan mencurigakan dalam rangka mencegah dan memberantas tinda pidana pencucian uang.
Ide untuk memasukkan profesi lawyer, akuntan
publik dan notaris sebagai Pihak Pelapor bukan tanpa kajian akademis,
apalagi didasarkan pada logika yang kacau. Selain atas pertimbangan
tersebut di atas, pihak-pihak seperti profesi dan penyedia barang/jasa
merupakan pihak yang cukup strategis memberikan informasi mengenai unusual transaction, dan dinilai memiliki karakteristik kegiatan usaha yang berbeda. Profesi lawyer, notaris
dan akuntan, sesuai dengan sifat aktivitasnya dapat mendeteksi
kemungkinan terjadinya pencucian uang melalui penggunaan
perjanjian-perjanjian legal, seperti trust dan corporate vehicles. Demikian pula, pelaku kriminal mungkin juga akan berusaha menggunakan jasa profesi untuk melakukan transaksi ilegal sehingga menyulitkan mendeteksinya atau dengan menggunakan rekening atau atas nama lawyer, akuntan publik, notaris untuk memasukkan dana haramnya ke dalam sistem perbankan.
Profesi lawyer, akuntan
publik dan notaris berdasarkan Undang-undang memang belum menjadi
pihak pelapor Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun demikian dalam
melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan TPPU, Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berwenang meminta dan
mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga
swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi termasuk
dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan
dari profesi tertentu (Pasal 41 ayat (1) huruf a UU TPPU). Yang dimaksud
dengan "lembaga swasta" antara lain asosiasi advokat, asosiasi notaris,
dan asosiasi akuntan.
Namun
demikian, disadari pula bahwa para pelaku kejahatan tidak pernah
membatasi diri untuk mengeksploitasi setiap celah yang bisa digunakan
untuk membuat kekayaannya yang berasal dari hasil kejahatan menjadi
tampak sah-melalui pencucian uang-termasuk melalui pembelian
barang-barang berharga atau bernilai tinggi, seperti properti (rumah,
tanah, dan aset tidak bergerak lainnya), mobil mewah, perhiasan dan
logam mulia, juga barang-barang seni dan barang antik.
Riset
yang dilakukan PPATK telah lama menemukan modus operandi TPPU melalui
pembelian barang-barang berharga oleh para pelaku kejahatan, seperti
dalam kasus korupsi atas nama GHT. Menyadari besarnya potensi pembelian
barang-barang berharga tersebut oleh para pelaku kejahatan yang
dimaksudkan untuk menghilangkan asal usul hasil kejahatannya,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU) yang menggantikan UU No. 15
Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 yang berlaku
sejak 22 Oktober 2010 menambahkan ketentuan baru yang memperluas
mekanisme pelaporan, dari yang semula hanya berlaku bagi penyedia jasa
keuangan, menjadi berlaku pula bagi penyedia barang dan/atau jasa lain
di luar jasa keuangan, yaitu :
1. Perusahaan properti/agen properti;
2. Pedagang kendaraan bermotor;
3. Pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4. Pedagang barang seni dan antik; dan
5. Balai lelang.
Pelaku
usaha yang bergerak di bidang jual/beli properti, kendaraan bermotor,
permata/perhiasan/logam mulia, barang seni dan barang antik, serta yang
melakukan jasa pelelangan, atau dalam UU PP TPPU disebut sebagai
Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (PBJ), berdasarkan Pasal 27 UU PP
TPPU, wajib menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh pengguna
jasa mereka, yang yang nilainya paling sedikit atau setara dengan
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) baik dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing, kepada PPATK;
Mengingat
bahwa implementasi ketentuan dimaksud memerlukan kesiapan dari pelaku
usaha yang bergerak di bidang jual/beli properti, kendaraan bermotor,
permata/perhiasan/logam mulia, barang seni dan barang antik, serta
pelaku jasa pelelangan, maka kewajiban pelaporan transaksi bagi Penyedia
Barang dan/atau Jasa lain tersebut dibuat agar tidak terlalu
memberatkan. Dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-12/1.02.1/PPATK/09/11
tentang Tata Cara Pelaporan Transaksi bagi Penyedia Barang dan/atau
Jasa Lainnya diatur bahwa jenis laporan yang wajib disampaikan kepada
PPATK meliputi :
a.
Laporan Transaksi pembelian tunai baik secara langsung, dengan
menggunakan uang tunai, cek atau giro maupun pentransferan atau
pemindahbukuan; dan
b.
Laporan Transaksi pembelian tunai bertahap yang total nilai
Transaksinya paling sedikit atau setara dengan Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
Selain
itu, PBJ juga wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan
kepada PPATK apabila PPATK memintanya. Dengan demikian, tidak semua
transaksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha di bidang usaha di atas
(PBJ) perlu dilaporkan. Apabila, misalnya, seseorang pegawai yang dalam
profilnya berpenghasilan Rp10 juta per bulan membeli sebuah mobil
seharga Rp550 juta yang dibayar dengan uang muka Rp250 juta dan sisanya
dicicil selama 3 (tiga) tahun, maka transaksi tersebut akan dilaporkan
pada PPATK karena transaksi dimaksud dikualifikasikan sebagai transaksi
yang mencurigakan, namun jika oleh pegawai tersebut dibayarkan uang muka
Rp25 juta dan sisanya dicicil selama 10 (sepuluh) tahun, maka transaksi
ini tidak harus/ tidak perlu dilaporkan kepada PPATK karena tidak dapat
dikualifikasikan sebagai transaksi yang mencurigakan jika dilihat dari
profil pegawai yang membeli mobil tersebut.
PBJ
wajib menerapkan prinsip mengenal Pengguna Jasa, yang dilakukan pada
saat melakukan transaksi dengan Pengguna Jasa jika : terdapat Transaksi
Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya
paling sedikit atau setara dengan Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah); terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan
tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna
Jasa.
Pelaksanaan
kewajiban pelaporan oleh PBJ di lain pihak justru merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi PBJ itu sendiri. Dengan dilaporkannya transaksi
yang dilakukan oleh pengguna jasa (customer), maka PBJ tidak lagi
dapat dituntut pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) berdasarkan Pasal 5 ayat 1 UU
TPPU, yang dalam situasi lain-karena tidak melaporkan transaksi tersebut
kepada PPATK-bisa dikenakan bagi siapa pun yang menerima pentransferan,
atau pembayaran uang atau dana yang sepatutnya diduga merupakan hasil
kejahatan.
Di
samping itu, UU TPPU juga memberikan perlindungan hukum kepada pelaku
usaha yang bergerak di bidang jual/beli properti, kendaraan bermotor,
permata/perhiasan/logam mulia, barang seni dan barang antik, sebagai
pihak diberikan kewajiban melaporkan transaksi kepada PPATK (dalam UU
TPPU disebut sebagai Pihak Pelapor) dari tuntutan dan/atau gugatan yang
mungkin akan diajukan oleh customer (pengguna jasa).
Sebagai misal, seseorang membeli mobil seharga Rp 600 juta yang pembayarannya dilakukan secara tunai (cash Rp100
juta dan sisanya ditransfer dari rekeningnya di bank). Jika Pengguna
Jasa mengetahui transaksi pembelian mobilnya tersebut dilaporkan kepada
PPATK oleh dealer tempat dia membeli mobil, orang tersebut tidak dapat menggugat secara perdata dealer mobil
tersebut karena menganggap hak privasinya telah dilanggar, dan juga
tidak dapat melaporkan hal tersebut kepada Polisi untuk diperiksa karena
adanya ketentuan Pasal 28 UU TPPU yang berbunyi:
"Pelaksanaan
kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan
kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan"
dan Pasal 29 UU TPPU:
"Kecuali
terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan
pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas
pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini"
maka
penegak hukum, baik itu penyidik, penuntut umum, maupun pengadilan tidak
mempunyai kewenangan untuk memeriksa gugatan perdata atau tuntutan
pidana dari laporan polisi dari pembeli mobil tersebut.
Kepala PPATK,
Muhammad Yusuf
http://www.ppatk.go.id/berita.php?nid=6516
0 komentar:
Posting Komentar