PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG
JASA KONSTRUKSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||
Menimbang:
|
a. Bahwa Pembangunan Nasional bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
|
|||
b. bahwa jasa konstruksi merupakan
salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial,
dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam
pencapaian berbagai sasaran guna menunjang
terwujudnya tujuan Pembangunan Nasional;
|
||||
c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan
pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang
berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing
secara optimal, maupun bagi kepentingan
masyarakat;
|
||||
Mengingat:
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; |
|||
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI.
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Pasal 1
|
||||
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa
konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi;
|
||||
2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan
beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan
masing-masing beserta kelengkapannya, untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik
lain;
|
||||
3. Pengguna jasa adalah orang perseorangan
atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang
memerlukan layanan jasa konstruksi;
|
||||
4. Penyedia jasa adalah orang perseorangan
atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi;
|
||||
5. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan
dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi;
|
||||
6. Kegagalan bangunan adalah keadaan
bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada
pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik
sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja
konstruksi atau pemanfaatannya yang
menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna
jasa;
|
||||
7. Forum jasa konstruksi adalah sarana
komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan
Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan masalah jasa konstruksi nasional yang
bersifat nasional, independen, dan mandiri;
|
||||
8. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk
menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang
perseorangan dan badan usaha untuk
menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang
diwujudkan dalam sertifikat;
|
||||
9. Perencana konstruksi adalah penyedia
jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk
dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain;
|
||||
10.Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa
orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan
suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan
atau bentuk fisik lain;
|
||||
11.Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa
orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai
dan diserahterimakan.
|
||||
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
|
||||
Pasal 2
|
||||
Pengaturan
jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran
dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian,
keterbukaan, kemitraan, keamanan dan
keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
|
||||
Pasal 3
|
||||
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
|
||||
a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan
jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal,
berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan
konstruksi yang berkualitas;
|
||||
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna
jasa dan penyedia jasa dalam hak dan
kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
||||
c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
|
||||
BAB III
USAHA JASA KONSTRUKSI
|
||||
Bagian Pertama
Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha
|
||||
Pasal 4
|
||||
(1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari
usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi dan usaha
pengawasan konstruksi yang masing-masing
dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi, dan pengawas konstruksi.
|
||||
(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan
layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi
rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan
dokumen kontrak kerja konstruksi.
|
||||
(3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan
layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang
meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari penyiapan lapangan
sampai dengan penyerahan akhir hasil
pekerjaan konstruksi.
|
||||
(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan
jasa pengawasan baik sebagian atau keseluruhan pekerjaan
pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan
lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.
|
||||
Pasal 5
|
||||
(1) Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.
|
||||
(2) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan
pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.
|
||||
(3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai
dengan bidang keahliannya.
|
||||
(4) Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar
dan/atau berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk
perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
|
||||
Pasal 6
|
||||
Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural
dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan
/atau tata lingkungan, masing-masing beserta
kelengkapannya.
|
||||
Pasal 7
|
||||
Ketentuan
tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||
Bagian Kedua
Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan
|
||||
Pasal 8
|
||||
Perencana
konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus:
|
||||
a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi;
|
||||
b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
|
||||
Pasal 9
|
||||
(1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi
orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian.
|
||||
(2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan
harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian
kerja.
|
||||
(3) Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh
badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian.
|
||||
(4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan
keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki
sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
|
||||
Pasal 10
|
||||
Ketentuan
mengenai penyelenggaraan perizinan usaha,
klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan
sertifikasi keahlian kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Profesional
|
||||
Pasal 11
|
||||
(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil
pekerjaannya.
|
||||
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan,
kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam
menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan
umum.
|
||||
(3) Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh
melalui mekanisme pertanggungan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
||||
Bagian Keempat
Pengembangan Usaha
|
||||
Pasal 12
|
||||
(1) Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk
mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan
yang sinergis antara usaha yang besar,
menengah, dan kecil serta antara usaha
yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan
tertentu.
|
||||
(2) Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan
konstruksi dikembangkan ke arah usaha yang bersifat umum dan
spesialis.
|
||||
(3) Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan ke arah:
|
||||
a. usaha yang bersifat umum dan spesialis;
|
||||
b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja.
|
||||
Pasal 13
|
||||
Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:
|
||||
a. Perluasan dan peningkatan akses terhadap
sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,
|
||||
b.pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.
|
||||
BAB IV
PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI
|
||||
Bagian Pertama
Para Pihak
|
||||
Pasal 14
|
||||
Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri atas:
|
||||
a. pengguna jasa;
|
||||
b. penyedia jasa.
|
||||
Pasal 15
|
||||
(1)
Pengguna jasa sebagaimana dimaksud pada
Pasal 14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan
kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi.
|
||||
(2)
Pengguna jasa harus memiliki kemampuan
membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen
pembuktian dari Lembaga Perbankan dan atau
Lembaga Keuangan bukan bank.
|
||||
(3)
Bukti kemampuan membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang
disepakati dengan mempertimbangkan lokasi,
tingkat kompleksitas, besaran biaya dan
atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian
tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
|
|
(4)
Dalam hal pengguna jasa adalah
Pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar
diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran.
|
|
(5)
Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan
yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
|
|
Pasal 16
|
|
(1) penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 Huruf b terdiri dari:
|
|
a. perencana konstruksi;
|
|
b. pelaksana konstruksi;
|
|
c. pengawas konstruksi.
|
|
(2)
Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap
penyedia jasa secara terpisah dalam
pekerjaan konstruksi.
|
|
(3)
Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan memeperhatikan
besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan
teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun
kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi.
|
|
Bagian Kedua
Pengikatan Para Pihak
|
|
Pasal 17
|
|
(1)
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa
konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang
sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara
pelelangan umum atau terbatas.
|
|
(2)
Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti
oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi.
|
|
(3)
Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia
jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan
langsung.
|
|
(4)
Pemilihan penyedia jasa harus
mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan
dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa.
|
|
(5)
Pemilihan penyedia jasa hanya boleh
diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
|
|
(6)
Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu
atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama
tidak boleh mengikuti pelelangan untuk
satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan.
|
|
Pasal 18
|
|
(1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:
|
|
a.
menerbitkan dokumen tentang pemilihan
penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan
benar serta dapat dipahami.
|
|
b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan.
|
|
(2)
Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun
dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan
kepada pengguna jasa.
|
|
(3)
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu
pihak tidak dapat mengubah dokumen
tersebut secara sepihak sampai dengan
penandatanganan kontrak kerja konstruksi.
|
|
(4)
Pengguna jasa dan penyedia jasa
harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja
konstruksi untuk menjamin terpenuhinya
hak dan kewajiban para pihak yang
secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan
itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
|
|
Pasal 19
|
|
Jika
pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan
tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah
diterbitkannya penetapan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi
salah satu pihak, maka pihak yang mengubah
atau membatalkan penetapan, atau
mengundurkan diri wajib dikenakan ganti rugi atau bisa dituntut
secara hukum.
|
|
Pasal 20
|
|
Pengguna
jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada
penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan
konstruksi pada lokasi dan dalam kurun
waktu yang sama tanpa melalui pelelangan
umum ataupun pelelangan terbatas.
|
|
Pasal 21
|
|
(1)
Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 berlaku juga dalam
pengikatan antara penyedia jasa dan sub penyedia
jasa.
|
|
(2)
Ketentuan mengenai tatacara pemilihan penyedia
jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penerbitan dokumen dan
penetapan penyedia jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
Bagian Ketiga
Kontrak Kerja Konstruksi
|
|
Pasal 22
|
|
(1)
Pengaturan hubungan kerja berdasarkan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.
|
|
(2) Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:
|
|
a. Para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;
|
|
b.
Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian
yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan
waktu pelaksanaan;
|
|
c.
Masa pertanggungan dan atau
pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan
dan atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa;
|
d.
Tenaga ahli, yang memuat ketentuan
tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk
melaksanakan pekerjaan konstruksi;
|
|
e.
Hak dan kewajiban, yang memuat hak
pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta
kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang
diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi
dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan
pekerjaan konstruksi;
|
|
f.
Cara Pembayaran, yang memuat
ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran
hasil pekerjaan konstruksi;
|
|
g.
Cidera janji, yang memuat ketentuan
tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
|
|
h.
Penyelesaian Perselisihan, yang memuat
ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat
ketidaksepakatan;
|
|
i.
Pemutusan kontrak kerja konstruksi,
yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja
konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya
kewajiban salah satu pihak;
|
|
j. Keadaan memaksa (force majeure),
yang memuat ketentuan tentang kejadian yang
timbul di luar kemauan dan kemampuan para
pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
|
|
k.
Kegagalan Bangunan, yang memuat ketentuan
tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan
bangunan;
|
|
l.
Perlindungan pekerja, yang memuat
ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan
dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
|
|
m.
Aspek Lingkungan, yang memuat kewajiban para
pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
|
|
(3)
Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan
perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan
intelektual.
|
|
(4) Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif.
|
|
(5)
Kontrak kerja konstruksi untuk
kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat memuat
ketentuan tentang sub penyedia jasa serta
pemasok bahan dan atau komponen bangunan
dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku.
|
|
(6)
Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam Bahasa
Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing,
maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris.
|
|
(7)
Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga dalam
kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan
subpenyedia jasa.
|
|
(8)
Ketentuan mengenai pengguna kerja konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak atas
kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), pemberian insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), dan mengenai pemasok dan/
atau komponen bahan bangunan dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB V
|
|
PENYELENGGARAAN
PEKERJAAN KONSTRUKSI
|
|
Pasal 23
|
|
(1)
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan beserta
pengawasannya yang masing-masing tahap
dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan,
dan pengakhiran.
|
|
(2)
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib
memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan
kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja,
serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya
tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
|
|
(3)
Para pihak dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang
dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya
tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|
(4)
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal 24
|
|
(1)
Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi dapat menggunakan subpenyedia jasa yang mempunyai
keahlian khusus sesuai dengan masing-masing
tahapan pekerjaan konstruksi.
|
|
(2)
Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 dan Pasal 9.
|
|
(3)
Penyedia jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak
subpenyedia jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja
konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia
jasa.
|
|
(4)
Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagaimana
tercantum dalam kontrak kerja konstruksi
antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa.
|
|
BAB VI
KEGAGALAN BANGUNAN
|
|
Pasal 25
|
|
(1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan.
|
|
(2)
Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung
jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan
konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
|
|
(3)
Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.
|
|
Pasal 26
|
|
(1)
jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan
karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi,
dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka perencana atau
pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai
dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
|
(2)
Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan
karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti
menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung
jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.
|
|
Pasal 27
|
|
Jika
terjadi kegagalan bangunan yang
disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan
bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib
bertanggungjawab dan dikenai ganti rugi.
|
|
Pasal 28
|
|
Ketentuan
mengenai jangka waktu dan penilai ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, tanggung
jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan Pengawas
konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 serta tanggung jawab pengguna jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
BAB VII
PERAN MASYARAKAT
|
|
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban
|
|
Pasal 29
|
|
Masyarakat berhak untuk:
|
|
a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi;
|
|
b.
memperoleh penggantian yang layak atas
kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi.
|
Pasal 30
|
|
Masyarakat berkewajiban:
a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi,
b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
|
|
Bagian Kedua
Masyarakat Jasa Konstruksi
|
|
Pasal 31
|
|
(1)
Masyarakat jasa konstruksi merupakan
bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan
yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan
jasa konstruksi.
|
|
(2)
Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui suatu
Forum Jasa Konstruksi.
|
|
(3)
Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan
pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh
suatu lembaga yang independen dan mandiri.
|
|
Pasal 32
|
|
(1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) terdiri atas unsur-unsur:
|
|
a. Asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
b. Asosiasi profesi jasa konstruksi;
c. Asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi;
d. masyarakat intelektual;
e.
organisasi kemasyarakatan yang berkaitan
dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang
mewakili konsumen jasa konstruksi;
f. instansi Pemerintah; dan
g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu.
|
|
(2)
Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan
dalam upaya menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi
nasional yang berfungsi untuk:
|
|
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan jasa konstruksi nasional;
c. tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat;
d. memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan.
|
|
Pasal 33
|
|
(1) Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari:
|
|
a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
b. asosiasi profesi jasa konstruksi;
c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan
d. instansi Pemerintah yang terkait.
|
|
(2) Tugas lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
|
|
a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi;
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi;
c.
melakukan registrasi tenaga kerja
konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan
sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja;
d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi;
e.
mendorong dan meningkatkan peran
arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.
|
(3)
Untuk mendukung kegiatannya lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengusahakan perolehan dana dari
masyarakat jasa konstruksi yang
berkepentingan.
|
|
Pasal 34
|
|
Ketentuan
mengenai Forum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
BAB VIII
PEMBINAAN
|
|
Pasal 35
|
|
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan jasa
konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan.
|
|
(2)
Pengaturan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang-undangan
dan standard-standard teknis.
|
|
(3)
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat
untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak,
kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan
jasa konstruksi.
|
|
(4)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan pekrjaan konstruksi untuk
menjamin terwujudnya ketertiban jasa
konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
|
|
(5)
Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa
konstruksi.
|
|
(6)
Sebagian tugas pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
|
|
Bagian Pertama
U m u m
|
|
Pasal 36
|
|
(1)
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.
|
|
(2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
|
|
(3)
Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa
di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
|
|
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan
|
|
Pasal 37
|
|
(1)
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di
luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam
kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan
bangunan.
|
|
(2)
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga,
yang disepakati oleh para pihak.
|
|
(3)
Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa
konstruksi.
|
Bagian Ketiga
Gugatan Masyarakat
|
|
Pasal 38
|
|
(1)
Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan
secara:
a. orang perseorangan;
b. kelompok orang dengan pemberian kuasa;
c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.
|
|
(2)
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita
sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok
masyarakat, Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak
untuk kepentingan masyarakat.
|
|
Pasal 39
|
|
Gugatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1)
adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan
berupa biaya atau pengeluaran nyata dengan
tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
|
|
Pasal 40
|
|
Tatacara
pengajuan gugatan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (1) diajukan oleh orang perseorangan,
kelompok orang, atau lembaga kemasyarakatan
dengan mengacu kepada Hukum Acara Perdata.
|
|
BAB X
SANKSI
|
|
Pasal 41
|
|
Penyelenggara
pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.
|
|
Pasal 42
|
|
(1)
Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa
berupa:
|
|
a. peringatan tertulis;
|
|
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
|
|
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
|
|
d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
|
|
e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.
|
|
(2)
Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;
e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
|
|
(3)
Ketentuan mengenai tatalaksana dan
penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
Pasal 43
|
|
(1)
Barang siapa yang melakukan perencanaan
pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan
mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi
atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama
5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
(2)
Barang siapa yang melakukan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan
ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan
dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak
5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.
(3)
Barang siapa yang melakukan pengawasan
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan
kepada orang lain yang melaksanakan
pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan
dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda
paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari
nilai kontrak.
|
|
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
|
|
Pasal 44
|
|
(1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang telah ada sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan
yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
|
|
(2)
Penyedia jasa yang telah memperoleh
perizinan sesuai dengan bidang usahanya dalam waktu 1 (satu) tahun
menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini, terhitung sejak diundangkannya.
|
|
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
|
|
Pasal 45
|
|
Pada
saat berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama dan
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
|
Pasal 46
|
|||
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan.
|
|||
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini, dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
|
|||
Disahkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
|
|||
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Mei 1999
|
|||
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
AKBAR TANDJUNG
|
|||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 54
http://serbaserbiproperti-abproperty.blogspot.com/2012/04/uu-no-18-th-1999-tentang-jasa.html |
0 komentar:
Posting Komentar