Harga bangunan di Papua untuk semen bisa Rp 1,2 juta,
di tempat lain bisa lebih murah. Ini akan menjadi indeks kemahalan
produksi.
-- Zulfi Syarif Koto
Pemerintah tetap bertahan pada pemberlakuan pasal 22 ayat 3 UU No
tahun 2011 tentang pembatasan pembangunan rumah di bawah tipe 36. Aturan
ini didasarkan pada terpenuhinya rumah layak huni bagi masyarakat.
Zulfi Syarif Koto, ketua Housing Urban
Development (HUD) Insitute dalam kesaksiannya pada sidang uji materi di
Mahkamah Konstitusi, Kamis (22/3/2012) lalu, mengatakan pemberlakuan
aturan tersebut tidak bisa disamaratakan di seluruh wilayah Indonesia.
"Ukuran
layak huni dari sisi administratif, teknis, dan lingkungan sangat
dinamis. Misalnya, harga bangunan di Papua untuk semen bisa Rp 1,2 juta,
di tempat lain bisa lebih murah. Ini akan menjadi indeks kemahalan
produksi. Untuk aspek keterjangkauan konsumen tidak bisa disamakan di
tiap daerah," katanya.
Zulfi melanjutkan, pemerintah mesti melihat
kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) saat ini untuk membeli
rumah. Khususnya untuk pasangan muda dalam memiliki rumah pertama
dengan harga jual tinggi pada rumah tipe 36 meter persegi.
Direktur
Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda mengemukakan, daya beli
masyarakat yang rendah untuk rumah tipe 36 perlu dilihat lebih cermat.
"Mungkin perlu merubah mindset
seperti para MBR. Beda harga rumah sebesar Rp 5 juta - Rp 10 juta bisa
membuat mereka urung membeli rumah. Mereka perlu membeli dengan harga
yang mampu dicapai," ujarnya.
Ia menambahkan, bila pemerintah
tetap bertahan dengan pemberlakuan luas rumah minimal tipe 36,
lanjutnya, maka harus menyediakan bank tanah sehingga mahalnya harga
rumah bisa ditekan.
(kompas.com)
http://serbaserbiproperti-abproperty.blogspot.com/2012/03/pemberlakuan-aturan-tipe-36-tak-bisa.html
(kompas.com)
http://serbaserbiproperti-abproperty.blogspot.com/2012/03/pemberlakuan-aturan-tipe-36-tak-bisa.html
0 komentar:
Posting Komentar