Boleh ada mal, tapi diperuntukkan untuk masyarakat di
kawasan tersebut. Tapi, sekarang semakin banyak malnya, yang akhirnya
menyedot masyarakat lain ke situ. Jadinya, setiap akhir pekan selalu
macet.
-- Erwin Kallo
Gubernur baru DKI Jakarta yang akan terpilih nanti dipastikan
menghadapi permasalahan tata ruang. Tata ruang yang tidak konsisten
menjadi sumber masalah banjir, kemacetan, kawasan padat penduduk serta
permasalahan sosial lainnya.
Demikian diungkapkan oleh pakar hukum properti, Erwin Kallo, kepada Kompas.com, di
Jakarta pada Jumat (13/4/2012) lalu. Menurut Erwin, permasalahan tata
ruang di Jakarta kini berganti menjadi "tata uang", sehingga
mengakibatkan konsep tidak dilaksanakan secara konsisten, semerawut,
serta tidak memiliki sanksi hukum yang jelas.
"Sebagai contohnya,
tahun lalu di Jalan Antasari, banyak bangunan disegel karena
peruntukannya tidak jelas. Kenapa tidak ditegur saat mengajukan izin?
Lalu, setelah disegel tidak ada pengawasan jelas. Papan segel lepas,
bangunan bisa beroperasi lagi," kata Erwin.
Contoh lainnya, kata
Erwin, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang peruntukkannya
untuk kawasan hunian, kini dibanjiri area komersial.
"Awalnya
Pondok Indah itu untuk hunian. Boleh ada mal, tapi diperuntukkan untuk
masyarakat di kawasan tersebut. Tapi, sekarang semakin banyak malnya,
yang akhirnya menyedot masyarakat lain ke situ. Jadinya, setiap akhir
pekan selalu macet," ujarnya.
Erwin mengatakan, keberadaan mal
seharusnya berdiri secara proporsional sesuai kebutuhan wilayah
tersebut. Ia juga mengkritik pemberian izin pusat perbelanjaan yang
dengan mudah dibangun di pusat-pusat kota.
"Bahkan, di negara
kapitalis sendiri ada aturan tata niaganya. Semakin besar ritel atau
mal, maka keberadaannya di pinggiran, sehingga traffic-nya menyebar. Kalau di sini sebaliknya," kata dia.
Konsep
megapolitan Permasalahan di DKI Jakarta, kata Erwin, harus
diselesaikan dengan konsep megapolitan. Artinya, DKI Jakarta membutuhkan
bantuan dari kota-kota satelit di sekelilingnya. Konsep tata ruang di
DKI Jakarta harus bersinergi. sehingga Pemerintah pusat turut berperan
mencari solusi terbaik.
"Misalnya menghadapi banjir kiriman dari
Bogor ke Jakarta, sementara tata ruang untuk peresapan air kini jadi
bangunan. Ini harus dihentikan. Caranya, ya, jangan ada lagi pembangunan
di Bogor. Tapi, kota Bogor butuh diberi insentif," ujarnya.
kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar