Kelompok
aliansi pengembang dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menilai
UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman No 1 Tahun 2011 menyulitkan para
pengembang dan kalangan masyarakat yang ingin mendapat rumah. Mereka
menuntut pasal tersebut dicabut.
Pasal tersebut membatasi hanya rumah dengan tipe minimum 36 berhak mendapatkan bantuan kredit FLPP yang merupakan program Kementerian Perumahan Rakyat.
"Kami ingin agar Pasal 22 ayat (3) UU No
1/2011 dicabut karena membuat rakyat yang termasuk MBR tidak bisa
memiliki rumah," kata Koordinator Masyarakat Aliansi Korban Arogansi
Menpera (Makam), RM Nur Hidayat, di sela-sela aksi demonstrasi di
Jakarta, Senin (26/3/2012).
Ia memaparkan, pasal tersebut
membatasi hanya rumah dengan tipe minimum 36 berhak mendapatkan bantuan
kredit fasilitas likuiditas pembangunan perumahan (FLPP) yang merupakan
program Kementerian Perumahan Rakyat. Padahal, lanjut dia, banyak
warga tergolong MBR masih belum mampu membeli rumah tipe tersebut.
Selain
itu, lanjutnya, UU Perumahan juga dinilai hanya berpihak kepada pemodal
besar dan jelas-jelas merugikan pengusaha properti kecil. Nur
mengemukakan, sebelum adanya aturan tipe minimum tersebut, banyak MBR
telah membeli rumah tipe 22 dan tipe 29 karena lebih sesuai dengan
kondisi finansial mereka. Namun, karena aturan tersebut, banyak bank
mengerem pembiayaan atau tidak mencairkan pinjaman kredit untuk rumah
sederhana tipe 22 dan 29 tersebut.
Menurut dia, hal tersebut jelas
merugikan pengembang. Pasalnya, ketika bank tidak mencairkan kredit,
kerugian terbesar dibebankan kepada pengembang perumahan sederhana.
Bila pengembang perumahan sederhana tidak dapat membayar gaji karyawan
dan kuli bangunan, lanjutnya, maka yang akhirnya terjadi adalah PHK dan
pengangguran.
Adapun aksi Makam tersebut diikuti sekitar 50 orang
itu rencananya akan dilanjutkan ke Istana Negara dan juga ke Gedung DPR
RI. Sebelumnya diberitakan, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz
mengatakan aturan luas minimum bangunan dalam Pasal 22 ayat (3) UU
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
tak merugikan masyarakat.
"Pasal itu tidak bertentangan dengan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,"
kata Djan Faridz.
Menpera mengatakan bahwa pengaturan dalam Pasal
22 ayat (3) ini merupakan upaya pemerintah dalam penyediaan rumah
tinggal, tidak hanya memenuhi standar fisik bangunan, melainkan harus
bisa djadikan sarana interaksi anggota keluarga, sehingga tercipta
suasana yang sehat lahir, batin, sosial, dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar