Sekitar 300 pengembang properti untuk kalangan menengah ke bawah terancam gulung tikar karena lambatnya daya serap pasar.
Eddy Ganefo, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi), mengatakan kondisi ini akan terjadi jika pembatasan rumah tapak yang berhak mendapat KPR dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) minimal tipe 36 terus berlanjut.
Eddy Ganefo, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi), mengatakan kondisi ini akan terjadi jika pembatasan rumah tapak yang berhak mendapat KPR dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) minimal tipe 36 terus berlanjut.
"Saat ini, terdapat sekitar 300 anggota Apersi yang telah membangun 27.000 unit rumah dibawah tipe 36. Rumah-rumah itu sekarang sulit terserap pasar akibat aturan baru FLPP ini," ujarnya kepada wartawan usai uji materi di Mahkamah Konstitusi, hari ini.
Padahal, lanjutnya, rumah yang awalnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu dibangun dengan dana kredit konstruksi dari pihak bank. Tiap bulannya, para pengembang menanggung sekitar Rp9 miliar untuk membayar bunga dari kredit tersebut.
Pihak bank juga keberatan jika para pengembang tersebut meminta kenaikan plafon kredit konstruksi, sebab dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) bank yang bersangkutan.
"Pengembang akhirnya tidak memiliki dana untuk cashflow, sehingga beberapa memutuskan untuk memberi diskon maupun jual rugi supaya rumah dibawah tipe 36 itu laku dan mereka bisa cashflow serta membayar pinjaman bank," keluh Eddy.
Selain terancam gulung tikar, dia menuturkan, sejumlah pengembang rumah untuk MBR ini telah berpikir untuk beralih ke segmen pasar yang dinilai lebih menguntungkan, yakni tipe rumah di atas tipe 36.
Sebelumnya, Apersi juga menempuh alternatif untuk memberikan subsidi terhadap selisih bunga KPR komersial yang sebesar 8,5% dengan bunga FLPP yang sebesar 7,25% bagi rumah dibawah tipe 36 yang terlanjur dibangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar